elum lama ini, mahasiswa disibukkan tugas-tugas akhir dan kegiatan belajar untuk menunjang nilai Ujian Akhir Semester. Nilai Ujian Akhir Semester atau yang lebih familier dengan sebutan UAS, ada yang menganggap bahwa nilai sangatlah penting dan wajib tinggi untuk tiap mata kuliah (baca: nilai A). Namun, ada pula menganggap nilai ujian adalah sebuah tolak ukur kemampuan potensi akademik seseorang mahasiswa selama satu semester. Kualitas otak, tidak dapat di ukur dengan sebatas nilai A, B, C, atau D. Sekali pun itu adalah perhitungan sejak nilai awal, daftar hadir, presentasi dan
lain lain. Karena kualitas otak dapat terus berkembang dan tidak semuanya ter-output selama dalam lingkup tembok akademik. Oleh karena itu nilai UAS tidak cukup mewakili kemampuan akademik mahasiswa. Berbagai factor atau alas an, mengapa nilai tidak cocok sebagai standard ukur tingkat akademik adalah pertama, tingkat kemampuan otak tidak mampu diprediksi dalam waktu y
ang singkat karena otak juga dapat mengalami fluktuasi dalam kemampuan penyerapan yang terpengaruh dengan kefokusan pikiran atau kemampuan untuk berkonsentrasi. Kedua, setiap orang memiliki kecerdasan yang berbeda, Howard Gardner dalam theory multiple intelligences membagi kecerdasan dalam 8 tipe yaitu kecerdasan Linguistik (cerdas kata), kecerdasan Logika Matematika (cerdas angka), Kecerdasan Visual dan Spasial (cerdas gambar/seni rupa), Kecerdasan Musik (cerdas analisis music), Kecerdasan Kinestetik (cerdas tubuh), Kecerdasab Interpersonal (cerdas diri), dan terakhir Kecerdasan Lingkungan (cerdas alam). Delapan jenis kecerdasan tersebut setiap orang memiliki kombinasi yang berbeda. Masing-masing kecerdasan juga ada yang menonjol dan ada pula yang berkonsentrasi rendah. Ketiga, tidak adanya pengawasan terhadap kemurnian hasil pekerjan mahasiswa dan jawaban. Keempat, nilai dalam presentasi kelompok adalah nilai dari sebuah kerjasama yang tidak dapat di bagi hasilnya dan penilaian hanya dilakukan seorang dosen yang mempunyai interprestasi yang berbeda dengan dosen lain mengenai kekompakan, dan kesinergisan dalam melakukan presentasi kelompok. Kelima, kiprah seseorang dalam kehidupannya dan kemampuannya dalam menjalani konflik kehidupan yang kompleks akan lebih membentuk dirinya lebih bernilai daripada nilai akademiknya dalam kampus. Nilai rendah bukan suatu patokan untuk meletakkan mahasiswa dalam kategori dengan intelektualitas rendah, karena kecerdasan tak dapat diukur secara kognitif saja. Nilai juga bukanlah sebuah berhala yang harus kita tinggikan dan kita puja sekali waktu, namun akan lebih bermakna bila nilai yang kita hasilkan merupakan penggambaran hasil perjuangan, dan menjadi sebuah pijakan tempat kita untuk melompat lebih tinggi dan lebih maju. Karena dengan seperti itu nilai akan lebih menjadi sesuatu yang bermakna. Mayoritas mahasiswa yang terkadang berlaku pragmatis (negatif) untuk meraih nilai tinggi. Demi memenuhi persyaratan kenaikan tingkat semester dan melingkupi rasa malunya terhadap teman, orang tua, dosen dan yang lainnya. Akibatnya kepragmatisan tersebut membunuh rangsangan intelegensia seseorang untuk berkembang. Seperti pendapat Muhtar Lubis, bahwa tipikal orang Indonesia salah satunya adalah cepat merasa puas (dengan nilai bagus yang didapatkannya). Sehingga berefek matinya laju perkembangan mental kreatif dan kemampuan untuk berusaha lebih baik lagi.
NB : buat referensi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar