Kamis, 02 Februari 2012

Alternatif Kepemimpinan Perempuan


B
ANYAK pihak beraggapan, persoalan kebangsaan yang takberkesudahan sampai saat ini, salah satu factor utamanya adalah karena adanya krisis kepemimpinan. Dalam kehidupan rakyat yang semakin sulit memenuhi kebutuhan dasarnya, impian mempunyai pemimpin yang segera dapat melakukan perubahan, sanagt mereka harapkan. Bahkan, rakyat seolah kembali terjebak dalam mitologi merindukan datangnya Sang Ratu Adil atau Satrio Piningit.
          Lantas, bagaimana dengan trend  kepemimpinan wanita yang semakin mendapat ruang di negeri ini? Mampukah mereka menjadi kepemimpinan alternative? Bagaimana dunia kampus menyoroti fenomena ini?
          Tak disangkal, kaum perempuan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini semakin member kontribusi besar terhadap persoalan kemasyarakatan, termasuk bagi naiknya pertumbuhan ekonomi negri ini. Hal ini diakui pula oleh tim ahli dari Bank Dunia, “World Development Report  2012 on Gender Equality anad Development”. Lapran bank dunia itu menyusun data dan mengidentifikasi sejauh mana pengaruh dan masalah yang dihadapi kaum perempuandalam pembangunan ekonomi di penjuru dunia.
          Meski begitu, menurut penelitian mereka, kesetaran dalam karir, baik di sector industry maupun politik, masih belum dinikmati oleh banyak perempuan di Indonesia.
          Sudhir Shetty, tim penyusun laporan Bank Dunia 2012 itu menilai, partisipasi kaum perempuan Indonesia dalam lapangan kerja dan pendidikan sudah meningkat pesat. Ditambahkannya, kesetaraan gender adalah factor penting dari tiap pembangunan, karena sudah terbukti kalau Negara denagn kesetaraan gender yang bagus pembangunannya lebih cepat dan merata.
          Namun tak bias dipungkiri, banyak area lain yang kesenjangan gendernya masih besar, misalnya dalam hal pendapatan US$1 untuk pria, misalnya, jumlah yang didapat perempuan yang menduduki posisi sama hanya sebesar 75 sen nya saja. Selain itu, partisipasi perempuan dalam parlemen juga masih mengalami kesenjangan. Hanya 18 persen anggota parlemen yang perempuan, dan hanya ada 4 perempuan yang menjadi mentri di cabinet.***
          DI KALANGAN mahasiswa , sebagai sebuah geberasi yang akan mengisi estafet kepemimpinan masa depan, tangapan terhadap alternative kepemimpinan wanita ternyata beragam. Ribchan, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Prodi Sosiologi, menilai kepemimpinan oleh seorang wanita boleh saja asalkan dalam tingkatan tertentu (pengkoordinasi). Namun jika sebagai seoarng yang berada di puncak kepemimpinan itu tidak boleh, karena secara psikis perempuan lebih labil daripada laki-laki.
          Dikhawatirkan, kalau di menjadi pemimpin dan mengambil keputusan besar saat dalam keadaan kabil, dia akan mengambil keputusan yang salah. Senagkan menurut Galih, mahasiswa Psikologi UGM, tidak ada salahnya jika wanita menjadi seorang pemimpin karena pada dasarnya setiap laki-laki atau  permpuan mempunyai peluang untuk menjadi seorang pemimpin. Perempuan itu sebenarnya memeng berkopeten untuk menjadi pemimpin. Jika perempuan menjadi bupati, kapolres, bahkan Presiden pun tidak masalah, karena sekarang sudah jamannya emansipasi perempuan.
          Bagi mahasiswa UIN prodi keuangan Syariah, yang akrab disapa Nurul, seoarng wanita bisa jadi pemimpin itu dapat dilihat dari 2 aspek. Yang pertama berdasarkan karakter pribadinya, yaitu dia sendiri punya jiwa kepemimpinan dan sanggup untuk menjadi pemimpin. Kedua, berdasarkan system yang ada, di tempat dimana dia akan memimpin. Apakah system tersebut bisa menerima perempuan menjadi pemimpin atau tidak.
          Sejumlah mahasiswa lain berpandangan, emansipasi wanita sanagt penting pada saat ini, karena sebagai seorang wanita dia harus mampu mandiri dalam segala hal, tidak hanya mengandalkan pria saja. “Wanita yang berkarier itu tipe wanita yang cerdas, dan berwawasan luas”, kata heri mahasiswa STIM AMP YKPN, yang yang menjabat sebagi coordinator UKM kewirausahan.
          Mahasiswa asal Riau, Yunus dan Zahra (mahasiswa PGRI jurusan matematika) menambahkan, mereka setuju denganadanya emansipasi wanita dalam kepemimpinan, selama kebebasan itu tidak melebihi normayang seharusnya. Tiwi, dan juga lis, mahasiswaUIN jurusan Komunikasi, sependapat, emansipasi berbeda dengan eksploatasi.
           Dalam bahasa MC Maryati, dosen STIM AMP YKPN yoga, sekalipun perempuan dan laki-laki bisa sejajar, ada suatau hal yang tidak bisa di gantikan, yaitu peran wanita sebagai seorang ibu.
          “Mungkin  untuk pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci dan bersih-bersih bisa di alhkan kepada pembantu. Namun, untuk cek menu, kasih saying terhadap suami dan anak tidak bisa diwakilkan. Jadi meskipun jaman sudah berubah, namun tugas seoarng wanita sumur, dapur dan kasur tetep diutamakan. Menyapa anak lewat telepon untuk menanyakan kabar, layaknya sebuah pelican yang hangat”, ujar dosen yang biasa disapa Bu MC ini.
          Salah seorang pemimpin wanita yang saat ini menjadi kepala daerh adalah Sri Surya Widati. Sebagai Bupati Bantul, ia mengatakn, perempuankodratnya adalah sebagai ibu rumah tangga. Tetapi, saat ini mengalami perubahan dalam arti positif.
          Wanita jaman sekarang tidak hanya di rumah tetapi juga bisa beraktivitas di luar, membantu suami mencari tambahan penghasilan, dan tetep mengemban tugas sebagai ibu rumah tangga. Menurutnya, keluarga itu bagaikan rumah yang ada mustaka (kepala) dan tiang. Mustaka digambarkan sebagai kepala rumah tangga (suami), dan tiang digambarkan sebagai seoarng istri. Jika tidak ada tiang penyangga yang kuat maka rumah itu akan hancur. Maka, sangat diperlukan tiang penyangga yang kuat.
          Sebelum berangkat kerja, ia pun selalu menyiapkan kebutuhan suami khususnya dan kebutuhan keluarga umumnya, karean ia menyadari wnita tugasnya menyiapkan kenutuhan dan melayani suami, amak maupun keluarga.

Sumber : Kedaulatan Rakyat selasa, 10 januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar