B |
AGAIMANA wajah bangsa Indonesia ke depan? Masih merajalelakah para koruptor? Masih mengganaskah aksi-aksi kekerasan? Masih busukkah nurani para politisi? Masih marakkah ketidakadilan? Sederet pertanyaan itu tentu tidak mudah untuk dijawab. Tetapi yang hampir pasti, jawaban itu akan terkait dengan sejauh mana generasi mud asst inimempersiapkan diri dengan fundamen moralitas yang kokoh. Sehingga, ada proyeksi mereka akan mampu menjadi pemimpin yang mengutamakn moralitas daripada nafsu-nafsu liar keserakahan.
Persoalannya, apakah generasi muda saat ini-
khususnya mahasiswa- siap membekali diri dengan investasi kebijakan, yang akan terus diasah mengatasi beribu godaan yang menghadang?
khususnya mahasiswa- siap membekali diri dengan investasi kebijakan, yang akan terus diasah mengatasi beribu godaan yang menghadang?
Sejumlah mahasiswa menyatakan optimismenya, bahwa kelak ketika generasinya tiba giliran memimpin, maka akan lebih bermoral daripada generasi sekarang. Tetapi, sebagian lagi merasa pesimis, melihat realitas dampak dahsyat system yang semakin mengkristalkan demoralisasi dan dehumanisasi.
Susilo, mahaiswa UGM, berpandangan, masih lebih banyak mahasiswa yang punya komitmen merawat moralitas kepribadiannya, daripada mahasiswa yang suka tawuran, narkoba, dan tidak peduli dengan kehidupan sosialnya. “Kami tidak akan mencontoh para pemimpin sekarang yang kerjaannya mengurus duit rakyat untuk kepentingan mereka pribadi, “ katanya.
Senada, septian, mahasiswa UNY mengungkapkan, masih banyak mahasiswa yang tertarik trainining-trainining kepemimpinan, dan menjadikan prose situ sebagian dari pendewasaan pribadi.” Kami akan lebih bermartabat, karena ada komunitas yang akan saling meneguhkan komitmen moral kita bersama,” katanya.
Sebaliknya, adi putranto, mahasiswa sebuah perguruan swasta, sanksi mahasiswa sekarang akan lebih berkualitas daripada pemimpin yang sekarang. Menurutnya, mahasiswa yang sekarang pandai-pandai, lebih berkarakter individualis dan a-sosial, karena hanya mengejar target kesuksesan materi belaka.
“Bagaimana merka akan menjadi pemimpin yang berkarakter, kalau sejak sekarang tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Mereka hanya mengejar IP tinggi, lulus cum laude, kaya, dan akhirnya akan jadi kapitalis,” katanya.
MEMANG, fakta sekarang ini menunjukkan bahwa tidak banyak mahasiswa yang mau dan mampu untuk menjadi amunisi penggebrak potensi negeri ini, karena beberapa sebab, dan salah satu penyebabnya adalah degradasi moral mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa sekarang memiliki karakter yang berbeda dengan mahasiswa zaman dulu. Hal ini dikemukakan dosen Universitas Gadjah Mada, H. Wildan Zuchoya M.Com., PhD. Ketika ia kuliah dulu, tempat hiburan masih dapat dihitung, fasilitas sangat minim, dan persaingan dalam hal akademik sangatlah ketat.
“Tidak semua fasilitas yang ada bisa dipakai oleh mahasiswa pada tahun 1981-an, karena pada tahun itu fasilitas seperti computer dan tempat nongkrong hany bisa dinikmati mahasiswa yang berkantong tebal. Dan, saya bukan termasuk mahasiswa yang berkantong tebal itu’, ujarnya sambil tertawa, ketika di temui swaka di kediamannya.
Menurut Wildan, pada saat ia menjadi mahasiswa tahun 1981, budaya hormat-menghormati antara dosen dengan mahasiswa sangat kental terasa saat itu. Ia juga menceritakan pengalamannya mengenai degradasi budaya hormat menghormati antara dosen dengan mahasiswa saat ini. Kadang mahasiswa tidak hafal wajah dosennya padahal mahasiswa itu mengikuti matakuliahnya. Hal inilah yang membuat bapak empat orang anak ini heran dan prihatin.
Ia juga mengatakan bahwa niat belajar mahasiswa mulai menipis, mahasiswa hanya mempelajari apa yang dosen ajrkan, dan mau bergerak ketika diperintah. Ia memaparkan bahwa mahasiswa sekarang banyak terlalu memintanya, namun tidak mampu menorehkan prestasi sebidang dengan apa yang mereka tuntut.
Meskipun demikian, dosen yang pernah menimba ilmu di Australia ini percaya bahwa mahasiswa sekarang masih ada yang menorehkan prestasinya di kampus masing-masing, entah dalam hal akademik maupun non akademik. Ia juga berharap mahasiswa sekarang dapat merealisasikan jargon “kuliah Oke, Prestasi Mantap”.
Ia prihatin terhadap gaya hidup sebagian mahasiswa yang kian hari jauh dari nilai nilai agama dan social, dan malah menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam lubang sekulerisme, hedonisme, pragmatism, dan konsumerisme. Sehingga, melahirkan sikap sikap hidup yang tidak agamabis dan sosialis lagi. Hal ini dikhawatirkan akan membuat mahasiswa menjadi larut dan terlena denagn kehidupan dunia yang fana, dan akhirnya malah akan mempersuram masa depan bangsa.
Ditambahkannya, pada era modern ini segala sesuatunya dapat diperoleh dengan mudah dan cepat diakses dengan internet. Fasilitas sekarang jauh lebih maju disbanding apa yang ia peroleh di tahun 80_an. “seharusnya mahasiswa sekarang bisa lebih berprestasi ketimbang pendahulunya. Namun kebanyakan mahasiswa denagn fasilitas yang wah sekarang ini, jarang sekali memanfaatkan untuk menorehkan prestasi,” katanya.
HAL terparah dalam degradasi moral mahasiswa adalah terlibatnya mereka dalam beberapa tindak criminal, entah itu dalam penyalahgunaan narkoba, perkelahian, maupun pencurian. Menurut AKP Teguh Sumartono, Kasat Binmas Polres Sleman, penyebab degradasi moral mahasiswa dapat dilihat dari berbagi sisi, baik dari sisi keluarga maupun sisi lingkunagn.
“Keluarga adalah unit terkecil dalam bersosialisasi. Meski dikatakan kecil, namun unit ini memegang pern yang sangat penting dalam pembentukan karakter seseorang”, ujarnya ketika di temui Swaka di ruangan kerjanya.
Sedangkan pergurunan tinggi merupakan kawah candradimuka bagi tiap mahasiswa untuk mengasah kemampuannya, hingga nanti benar-benar siap mengkontribusikan diri dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih kompleks disbanding kehidupan perkuliahan itu sendiri. Menurutnya, lingkungan adalh factor yang paling penting dalam membuat orang menjadi bermanfaat atau malah akan sia-sia.
Menurut aparat yang sudah lebih dari 30 tahun mengabdi di kepolisian ini, ada beberapa solusi untuk mengurangi degradasi ini. Pertama, mengoptimalkan peran keluarga. Keluarga adalah unit social pertama dalam kehidupan manusia. Dalam keluarga, manusia pertama kali belajar memperhatikan keinginan oarng lain, belajar bekerja sama, saling membantu, hingga dalam aspek penanaman etika dan moral.
Kedua, memaksimalkan peran perguruan tinggi. Perguruan tinggi adalah tempat bagi mahasiswa mmengasah dan meningkatkan hard-skill dan tempat penanaman etika dan pembentukan mental yang baik untuk menjadi generasi penerus bangsa.”Di sini peran lingkungan juga dibutuhkan. Pihak civitas akademika seharusnya bersinergidalam upayamembentuk lingkungan yang positif untuk civitas akademikaitu sendiri,”katanya.
Pengoptimalan peran media juga dibutuhkan untuk menanggulangi hal ini. Tidak sedikit drama-drama televise hanya menyuguhkan hiburan semata, sehingga melalaikan asupan yang bermuatan moral bagi penontonnya.
Menurutnya , media dalam hal ini seharusnya member asupan positif bagi mahasiswa, khususnya media yang menjadi konsumsimahasiswa sehari-hari seperti televise, surat kabar, radio, dan sejenisnya. Mahasiswa sendiri diharapkan bisa bersikap cedas dalam bermedia.
Terakhir, pemanfaatan subtansi teknologi secara tepat. Sudah menjadi rahasia umum ketika mendengar anak-anak dibawah 12 tahun bisa mengakses content audio visual yang seharusnya hanya boleh dilihat orang dewasa. Teknologi diciptakan seharusnya untuk dimanfaatkan dalam hal positif, bukan sebaliknya.
Sumber : kedaulatan rakyat selasa, 31 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar